Penduduk
kota Madain berduyun-duyun keluar untuk menyambut kedatangan wali
negeri mereka yang baru diangkat serta dipilih oleh Amirul Mu’minin Umar
ra. Mereka pergi menyambutnya, karena lamalah sudah hati mereka rindu
untuk bertemu muka dengan shahabat Nabi yang mulia ini, yang telah
banyak mereka dengar mengenai keshalihan dan ketaqwaannya, begitu pula
tentang jasa-jasanya dalam membebaskan tanah Irak.
Ketika
mereka sedang menunggu rombongan yang hendak datang, tiba-tiba
muncullah di hadapan mereka seorang laki-laki dengan wajah berseri-seri.
Ia mengendarai seekor keledai yang beralaskan kain usang, sedang kedua
kakinya teruantai ke bawah, kedua tangannya memegang roti serta garam
sedang mulutnya sedang mengunyah.
Demi
ia berada di tengah-tengah orang banyak dan mereka tahu bahwa orang itu
tidak lain dari Hudhayfa Ibnul Yaman, maka mereka jadi bingung dan
hampir-hampir tidak percaya. Tetapi apa yang akan diherankan? Corak
kepemimpinan bagaimana yang mereka nantikan sebagai pilihan Umar? Hal
itu dapat difahami, karena baik di masa kerajaan Persi yang terkenal itu
atau sebelumnya, tak pernah diketahui adanya corak pemimpin semulia
ini.
Hudhayfa
meneruskan perjalanan sedang orang-orang berkerumun dan
mengelilinginya. Dan ketika dilihat bahwa mereka menatapnya seolah-olah
menunggu amanat, diperhatikannya air muka mereka, lalu katanya,
"Jauhilah oleh kalian tempat-tempat fitnah!" Ujar mereka, "Di manakah
tempat-tempat fitnah itu wahai Abu Abdillah?" Ujarnya, "Pintu rumah para
pembesar!" Seorang di antara kalian masuk menemui mereka dan mengiakan
ucapan palsu serta memuji perbuatan baik yang tak pernah mereka
lakukan!"
Suatu
pernyataan yang luar biasa di samping sangat mena’jubkan! Dari ucapan
yang mereka dengar dari wali negeri yang baru ini, orang-orang segera
beroleh kesimpulan bahwa tak ada yang lebih dibencinya tentang apa saja
yang terdapat di dunia ini, begitupun yang lebih hina dalam pandangan
matanya daripada kemunafikan. Dan pernyataan ini sekaligus merupakan
ungkapan yang paling tepat terhadap kepribadian wali negeri baru ini,
serta sistem yang akan ditempuhnya dalam pemerintahan.
Hudhayfa
Ibnu Yaman memasuki arena kehidupan ini dengan bekal tabi’at istimewa.
Di antara ciri-cirinya ialah anti kemunafikan dan mampu melihat jejak
dan gejalanya walau tersembunyi di tempat-tempat yang jauh sekalipun.
Semenjak ia bersama saudaranya, Shafwan, menemani bapaknya menghadap
Rasulullah SAW dan ketiganya memeluk Islam, sementara Islam menyebabkan
wataknya bertambah terang dan cemerlang, maka sungguh, ia menjaganya
secara teguh dan suci, serta tulus dan gagah berani dan diapndangnya
sifat pengecut, bohong dan kemunafikan sebagai sifat yang rendah dan
hina.
Ia
terdidik ditangan Rasulullah SAW dengan kalbu terbuka tak ubah bagai
cahaya shubuh, hingga tak suatupun dari persoalan hidupnya yang
tersembunyi. Tak ada rahasia terpendam dalam lubuk hatinya, seorang yang
benar dan jujur, mencintai orang-orang yng teguh membela kebenaran,
sebaliknya mengutuk orang-orang yang berbelit-belit dan riya,
orang-orang culas bermuka dua!
Ia
bergaul dengan Rasulullah SAW dan sungguh, tak ada lagi tempat baik di
mana bakat Hudhayfa ini tumbuh subur dan berkembang sebagai halnya di
arena ini, yakni dalam pengkuan agama Islam, di hadapan Rasulullah SAW
dan di tengah-tengah golongan besar kaum perintis dari shahabat-shahabat
Rasulullah SAW. Bakatnya ini benar-benar tumbuh menurut kenyataan,
hingga ia berhasil mencapai keahlian dalam membaca tabi’at dan airmuka
seseorang. Dalam waktu selintas kilas, ia dapat menebak airmuka dan
tanpa susah payah akan mampu menyelidiki rahasia-rahasia yang
tersembunyi serta simpanan yang terpendam.
Kemampuannya
dalam hal ini telah sampai kepada apa yang diinginkannya, hingga Amirul
Mu’minin Umar r.a. yang dikenal sebagai orang yang penuh dengan
inspirasi, seorang yang cerdas dan ahli, sering juga mengandalkan
pendapat Hudhayfa, begitu pula ketajaman pandangannya dalam memilih
tokoh dan mengenali mereka. Sungguh Hudhayfa telah dikaruniai fikiran
jernih, menyebabkannya sampai pada suatu kesimpulan, bahwa dalam
kehidupan ini sesuatu yang biak itu adalah yang jelas dan gamblang,
yakni bagi orang yang betul-betul menginginkannya. Sebaliknya yang jelek
ialah yang gelap atau samar-samar, dan karena itu orang yang bijaksana
hendaklah mempelajari sumber-sumber kejahatan ini dan
kemungkinan-kemungkinannya.
Demikianlah
Hudhayfa r.a terus menerus mempelajari kejahatan dan orang-orang jahat,
kemunafikan dan orang-orang munafiq. Berkata ia, "Orang-orang
menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, tetapi saya
menanyakan kepadanya tentang kejahatan, karena takut akan terlibat di
dalamnya. Pernah kubertanya, 'Wahai Rasulullah, dulu kita berada dalam
kejahiliyahan dan diliputi kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada
kita kebaikan ini, apakah dibalik kebaikan ini ada kejahatan?' 'Ada',
ujarnya. 'Kemudian apakah setelah kejahatan masih ada lagi kebaikan?'
tanyaku pula. 'Memang, tetapi kabur dan bahaya.' 'Apakah bahaya itu?'
'Yaitu segolongan ummat mengikuti sunnah bukan sunnahku, dan mengikuti
petunjuk bukan petunjukku. Kenalilah mereka olehmu dan laranglah.' "
'Kemudian
setelah kebaikan tersebut masihkan ada lagi kejahatan?' tanyaku pula.
'Masih,' ujar Nabi, 'Yakni para tukang seru di pintu neraka. Barangsiapa
menyambut seruan mereka, akan mereka lemparkan ke dalam neraka!' Lalu
kutanyakan kepada Rasulullah, 'Ya Rasulullah, apa yang harus saya
perbuat bila saya menghadapi hal demikian?' Ujar Rasulullah, 'Senantiasa
mengikuti jama’ah kaum muslimin dan pemimpin mereka!' 'Bagaimana kalau
mereka tidak punya jama’ah dan tidak pula pemimpin?' 'Hendaklah kamu
tinggalkan golongan itu semua, walau kamu akan tinggal dirumpun kayu
sampai kamu menemui ajal dalam keadaan demikian!'
Nah,
tidakkah anda perhatikan ucapannya, "Orang-orang menanyakan kepada
Rasulullah SAW tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya
tentang kejahatan, karena takut akan terlibat di dalamnya." Hudhayfa
Ibnu Yaman menempuh kehidupan ini dengan mata terbuka dan hati waspada
terhadap sumber-sumber fitnah dan liku-likunya demi menjaga diri dan
memperingatkan manusia terhadap bahayanya. Dengan demikian ia
menganalisa kehidupan dunia ini dan mengkaji pribadi orang serta meraba
situasi. Semua masalah itu diolah dan digodok dalam akan fikirannya lalu
dituangkan dalam ungkapan seorang filosof yang ‘arif dan bijaksana.
Berkatalah
ia, "Sesungguhnya Allah Ta’ala telah membangkitkan Muhammad SAW, maka
diserunya manusia dari kesesatan kepada kebenaran, dari kekafiran kepada
keimanan. Lalu yang menerima mengamalkannyalah, hingga dengan kebenaran
itu yang mati menjadi hidup, dan dengan kebatilan yang hidup menjadi
mati! Kemudian masa kenabian berlalu, dan datang masa kekhalifahan
menurut jejak beliau, dan setelah itu tiba zaman kerajaan durjana."
Di
antara manusia ada yang menerima, baik dengan hati maupun dengan tangan
serta lisannya, maka merekalah yang benar-benar menerima yang haq. Dan
di antara mereka ada yang menentang, baik dengan hati maupun dengan
tangan serta lisannya, maka merekalah yang benar-benar menentang yang
haq. Dan di antara mereka ada yang menentang dengan hati dan lisannya
tanpa mengikut sertakan tangannya, maka golongan ini telah meninggalkan
suatu cabang dari yang haq.
Dan
apapula yang menentang dengan hatinya semata, tanpa mengikut sertakan
tangan dan lisannya, maka golongan ini telah meninggalkan dua cabang
dari yang haq. Dan adapula yang tidak menentang, baik dengan hati maupun
dengan tangan serta lisannya, maka golongan ini adalah mayat-mayat
bernyawa.
Ia
juga berbicara tentang hati, dan mengenai kehidupannya yang beroleh
petunjuk dan yang sesat, katanya, "Hati itu ada empat macam: Hati yang
tertutup, itulah dia hati orang kafir. Hati yang dua muka, itulah dia
hati orang munafiq. Hati yang suci bersih, di sana ada pelita yang
menyala, itulah dia hati orang yang beriman. Dan hati yang berisi
keimanan dan kemunafikan. Tamsil keimanan itu adalah laksana sebatang
kayu yang dihidupi air yang bersih, sedang kemunafikan itu tak ubahnya
bagai bisul yang diairi darah dan nanah. Maka mana di antara keduanya
yang lebih kuat, itulah yang menang."
Pengalaman
Hudhayfa yang luas tentang kejahatan dan ketekunannya untuk melawan dan
menentangnya, menyebabkan lidah dan kata-katanya menjadi tajam dan
pedas. Hal ini diakuinya kepada kita secara ksatria, katanya, "Saya
datang menemui Rasulullah SAW, kataku padanya, 'Wahai Rasulullah,
lidahku agak tajam terhadap keluargaku, dan saya khawatir kalau-kalau
hal itu akan menyebabkan saya masuk neraka.' Maka ujar Rasulullah SAW,
'Kenapa kamu tidak beristighfar?' 'Sungguh, saya beristighfar kepada
Allah tiap hari seratus kali.' " Nah inilah dia Hudhayfa musuh
kemunafikan dan shahabat keterbukaan. Dan tokoh semacam ini pastilah
imannya teguh dan kecintaannya mendalam. Demikianlah pula halnya
Hudhayfa, dalam keimanan dan kecintaannya. Disaksikannya bapaknya yang
telah beragama Islam tewas di perang Uhud, dan ditangan srikandi Islam
sendiri yang melakukan kekhilafan karena menyangkanya sebagai orang
musyrik.
Hudhayfa
melihat dari jauh pedang sedang dihujamkan kepada ayahnya, ia
berteriak, "Ayahku.. ayahku... Jangan ia ayahku.." Tetapi qadla Allah
telah tiba. Dan ketika kaum muslimin mengetahui hal itu, merekapun
diliputi suasana duka dan sama-sama membisu. Tetapi sambil memandangi
mereka dengan sikap kasih sayang dan penuh pengampunan, katanya, "Semoga
Allah mengampuni tuan-tuan, Ia adalah sebaik-baik Penyayang."
Kemudian
dengan pedang terhunus ia maju ke daerah tempat berkecamuknya
pertempuran dan membaktikan tenaga serta menunaikan tugas kewajibannya.
Akhirnya peperanganpun usailah dan berita tersebut sampai ke telinga
Rasulullah SAW. Maka disuruhnya membayar diyat atas terbunuhnya ayahanda
Hudhayfa (Husail bin Yabir) yang ternyata ditolak oleh Hudhayfa ini dan
disuruh membagikannya kepada kaum muslimin. Hal itu menambah sayang dan
tingginya penilaian Rasulullah terhadap dirinya.
Keimanan
dan kecintaan Hudhayfa tidak kenal lelah dan lemah, bahkan juga tidak
kenal mustahil. Sewaktu perang Khandaq, yakni setelah merayapnya
kegelisahan dalam barisan kafir Quraisy dan sekutu-sekutu mereka dari
golongan Yahudi, Rasulullah SAW bermaksud hendak mengentahui
perkembangan terakhir di lingkungan perkemahan musuh-musuhnya.
Ketika
itu malam gelap gulita dan menakutkan, sementara angin topan dan badai
meraung dan menderu-deru, seolah-olah hendak mencabut dan menggulingkan
gunung-gunung sahara yang berdiri tegak ditempatnya. Dan suasana di kala
itu mencekam hingga menimbulkan kebimbangan dan kegelisahan, mengundang
kekecewaan dan kecemasan, sementara kelaparan telah mencapai saat-saat
yang gawat di kalangan para shahabat Rasulullah SAW.
Maka
siapakah ketika itu yang memiliki kekuatan apapun kekuatan itu yang
berani berjalan ke tengah-tengah perkemahan musuh di tengah-tengah
bahaya besar yang sedang mengancam, menghantui dan memburunya, untuk
secara diam-diam menyelinap ke dalam, yakni untuk menyelidiki dan
mengetahui keadaan mereka? Maka Rasulullah yang memilih di antara para
shahabatnya, orang yang akan melaksanakan tugas yang amat sulit ini, dan
tahukah anda, siapa kiranya pahlawan yang dipilihnya itu? Itulah
Hudhayfa Ibnu Yaman.
Ia
dipanggil oleh Rasulullah SAW untuk melakukan tugas, dan dengan patuh
dipenuhinya. Dan sebagai bukti kejujurannya, ketika ia mengisahkan
peristiwa tersebut dinyatakannya bahwa ia mau tak mau harus menerimanya.
Hal itu menjadi petunjuk, bahwa sebenarnya ia takut menghadapi tugas
yang dipikulkan atas pundaknya serta khawatir akan akibatnya. Apalagi
bila diingat bahwa ia harus melakukannya dalam keadaan lapar dan timpaan
hujan es, serta keadaan jasmaniah yang amat lemah, sebagai akibat
pengepungan orang-orang musyrik selama satu bulan atau lebih.
Dan
sungguh, peristiwa yang dialami oleh Hudhayfa malam itu, amat
mena’jubkan sekali. Ia telah menempuh jarak yang terbentang di antara
kedua perkemahan dan berhasil menembus kepungan, lalu secara diam-diam
menyelinap ke perkemahan musuh. Ketika itu angin kencang telah
memadamkan alat-alat penerangan fihak lawan hingga mereka berada dalam
gelap gulita, sementara Hudhayfa ra telah mengambil tempat di
tengah-tengah prajurit musuh itu.
Abu
Sufyan, yakni panglima besar Quraisy, takut kalau-kalau kegelapan malam
itu dimanfaatkan oleh mata-mata kaum muslimin untuk menyusup ke
perkemahan mereka. Maka iapun berdirilah untuk memperingatkan anak
buahnya. Seruan yang diucapkan dengan keras kedengaran oleh Hudhayfa dan
bunyinya sebagai berikut, "Hai segenap golongan Quraisy, hendaklah
masing-masing kalian memperhatikan kawan duduknya dan memegang tangan
serta mengetahui siapa namanya."
Kata
Hudhayfa, "Maka segeralah saya menjabat tangan laki-laki yang duduk di
dekatku, kataku kepadanya, 'Siapa kamu ini?' Ujarnya, 'Si Anu anak si
Anu.' Demikianlah Hudhayfa mengamankan kehadirannya di kalangan tentara
musuh itu hingga selamat. Abu Sufyan mengulangi lagi seruan kepada
tentaranya, katanya, "Hai orang-orang Quraisy, kekuatan kalian sudah
tidak utuh lagi, kuda-kuda kita telah binasa, demikian juga halnya
unta."
"Bani
Quraidhah telah pula mengkhianati kita hingga kita mengalami akibat
yang tidak kita inginkan. Dan sebagaimana kalian saksikan sendiri, kita
telah mengalami bencana angin badai, periuk-periuk berpelantingan, api
menjadi padam dan kemah-kemah berantakan. Maka berangkatlah kalian
sayapun akan berangkat." Lalu ia naik ke punggung untanya dan mulai
berangkat, diikuti dari belakang oleh tentaranya. Kata Hudhayfa, "Kalau
tidaklah pesan Rasulullah SAW kepada saya agar saya tidak mengambil
sesuatu tindakan sebelum menemuinya lebih dulu, tentulah saya bunuh Abu
Sufyan itu dengan anak panah."
Hudhayfa
kembali kepada Rasulullah SAW dan menceritakan keadaan musuh, serta
menyampaikan berita gembira itu. Barangsiapa yang pernah bertemu muka
dengan Hudhayfa dan merenungkan buah fikiran dan hasil filsafatnya serta
tekunnya untuk mencapai ma’rifat, tak mungkin akan mengharapkan
daripadanya sesuatu kepahlawanan di medan perang atau pertempuran.
Tetapi
anehnya dalam bidang inipun Hudhayfa melenyapkan segala dugaan itu.
Laki-laki santri yang teguh beribadat dan pemikir ini, akan menunjukkan
kepahlawanan yang luar biasa di kala ia menggenggam pedang menghadapi
tentara berhala dan pembela kesesatan. Cukuplah sebagai bukti bahwa ia
merupakan orang ketiga atau kelima dalam deretan tokoh-tokoh terpenting
pada pembebasan seluruh wilayah Irak. Kota-kota Hamdan, Rai dan
Dainawar, selesai pembebasannya di bawah komando Hudhayfa.
Dan
dalam pertempuran besar Nahawand, di mana orang-orang Persi berhasil
menghimpun 150 ribu tentara, Amirul Mu’minin Umar memilih sebagai
panglima Islam Nu’man bin Muqarrin, sedang kepada Hudhayfa dikirimnya
surat agar ia menuju tempat itu sebagai komandan dari tentara Kufah.
Kepada para pejuang itu Umar mengirimkan surat, katanya, "Jika kaum
muslimin telah berkumpul, maka masing-masing panglima hendaklah
mengepalai anak buahnya, sedang yang akan menjadi panglima besar ialah
Nu’man bin Muqarrin. Dan seandainya Nu’man tewas, maka panji-panji
komando hendaklah dipegang oleh Hudhayfa, dan kalau ia tewas pula maka
oleh Jarir bin Abdillah."
Amirul
Mu’minin masih menyebutkan beberapa nama lagi, ada tujuh orang
banyaknya yang akan memegang pimpinan tentara secara berurutan. Dan
kedua pasukanpun berhadapanlah. Pasukan Persi dengan 150 ribu tentara,
sedang Kaum Muslimin dengan 30 ribu orang pejuang, tidak lebih. Perang
berkobar, suatu pertempuran yang tak ada tolak bandingnya, perang
terdasyat dan paling sengit dikenal oleh sejarah.
Panglima
besar kaum muslimin gugur sebagai syahid, Nu’man bin Muqarrin tewaslah
sudah. Tetapi sebelum bendera kaum muslimin menyentuh tanah, panglima
yang baru telah menyambutnya dengan tangan kanannya, dan angin
kemenanganpun meniup dan menggiring tentara maju ke muka dengan semangat
penuh dan keberanian luar biasa. Dan panglima yang baru itu tiada lain
dari Hudhayfa Ibnul Yaman. Bendera segera disambutnya, dan dipesankannya
agar kematian Nu’man tidak disiarkan, sebelum peperangan berketentuan.
Lalu dipanggilnya Na’im bin Muqarrin dan ditempatkan pada kedudukan
saudaranya Nu’man, sebagai penghormatan kepadanya.
Dan
semua itu dilaksanakannya dengan kecekatan, bertindak dalam waktu hanya
beberapa saat, sedang roda peperangan berputar cepat, kemudian bagai
angin puting beliung ia maju menerjang barisan Persi sambil menyerukan,
"Allahu Akbar, Ia telah menepati janji-Nya, Allahu Akbar, telah
dibela-Nya tentara-Nya". Lalu diputarlah kekang kudanya ke arah anak
buahnya, dan berseru, "Hai ummat Muhammad SAW, pintu-pintu surga telah
terbuka lebar, siap sedia menyambut kedatangan tuan-tuan, jangan biarkan
ia menunggu lebih lama, Ayolah wahai pahlawan-pahlawan Badar, Majulah
pejuang-pejuang Uhud, Khandaq dan Tabuk." Dengan ucapan-ucapannya itu
Hudhayfa telah memelihara semangat tempur dan ketahanan anak buahnya,
jika tak dapat dikatakan telah menambah dan melipat gandakannya. Dan
kesudahannya perang berakhir dengan kekalahan pahit bagi orang-orang
Persi, suatu kekalahan yang jarang ditemukan bandingannya