Abu Bakar As-Siddiq yang lembut hati - part 2

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Masa kecil dan terbatasnya berita
Sumber-sumber yang sampai kepada kita mengenai masa kecil  Abu Bakr tidak banyak membantu untuk mengenai pribadinya dalam situasi kehidupan saat itu. Cerita sekitar masa anak-anak dan  remajanya tidak juga memuaskan. Apa yang diceritakan tentang kedua  orangtuanya tidak lebih daripada sekedar menyebut nama saja.  Setelah Abu Bakr menjadi tokoh sebagai Muslim yang penting, baru  nama ayahnya disebut-sebut. Ada pengaruh Abu Bakr dalam kehidupan  ayahnya, namun pengaruh ayahnya dalam kehidupan Abu Bakr tidak  ada. Tetapi yang menjadi perhatian kalangan sejarawan waktu itu justru  yang menyangkut kabilahnya serta kedudukannya di  tengah-tengah masyarakat Kuraisy. Tak bedanya mereka itu dalam hal  ini dengan sejarah Arab umumnya. Dengan melihat pertaliannya  kepada  salah satu kabilah,1 (1 Kabilah atau suku merupakan susunan masyarakat Arab yang berasal dari satu  moyang, lebih kecil dari sya'b dan lebih besar dari  'imarah, kemudian berturut-turut  batn, 'imarah dan fakhz.  — Pnj.)  sudah cukup untuk mengetahui watak dan  akhlak mereka. Adakalanya yang demikian ini baik, dan kadang  juga  mereka yang percaya pada prinsip keturunan itu berguna untuk  menentukan kecenderungan mereka, kendati yang lain menganggap  penilaian demikian sudah berlebihan, dan ini yang membuat mereka tidak cermat dalarn meneliti.


Kabilahnya dan kepemimpinannya
Abu Bakr dari kabilah Taim bin Murrah bin Ka'b. Nasabnya  bertemu dengan Nabi pada Adnan. Setiap kabilah yang tinggal di  Mekah punya keistimewaan tersendiri, yakni ada tidaknya  hubungannya  dengan sesuatu jabatan di Ka'bah. Untuk Banu Abd  Manaf tugasnya siqayah dan rifadah, untuk Banu Abdid-Dar, liwa', hijabah dan nadwah, yang sudah berjalan sejak sebelum Hasyim kakek Nabi lahir. Sedang pimpinan tentara di pegang oleh Banu Makhzum, nenek moyang Khalid bin Walid, dan Banu Taim bin Murrah menyusun masalah diat  (tebusan darah) dan segala macam ganti rugi. Pada zaman jahiliah  masalah penebusan darah ini di tangan Abu Bakr tatkala posisinya cukup kuat, dan dia juga yang memegang pimpinan kabilahnya. Oleh  karena itu bila ia harus menanggung sesuatu tebusan dan ia meminta  bantuan Kuraisy, mereka pun percaya dan mau memberikan tebusan  itu, yang tak akan dipenuhi sekiranya orang lain yang memintanya.
Banyak buku yang ditulis orang kemudian menceritakan adanya pujian ketika menyinggung Banu Taim ini  serta kedudukannya di  tengahtengah  kabilah-kabilah  Arab.  Diceritakan  bahwa ketika  Munzir bin Ma'as-Sama' menuntut Imru'ul-Qais bin Hujr al-Kindi, ia  mendapat perlindungan Mu'alla at-Taimi (dari Banu Taim), sehingga  dalam hal ini penyair Imru'ul-Qais berkata:

Imru'ul-Qais bin Hujr
Telah didudukkan oleh Banu  Taim, "Masabihuz-Zalami"

Karena bait tersebut, Banu Taim dijuluki "Masabihuz-Zalami"  (pelita-pelita di waktu gelap).
Tetapi sumber-sumber yang beraneka ragam yang melukiskan  sifatsifat Banu Taim itu tidak berbeda dengan yang biasa dilukiskan  untuk kabilah-kabilah lain. Juga tidak ada suatu ciri khas yang bisa dibedakan dan dapat digunakan oleh penulis sejarah atau menunjukkan  suatu sifat tertentu kepada kabilah mana ia dapat digolongkan.  Sumber-sumber itu melukiskan Banu Taim dengan sifat-sifat terpuji:  pemberani, pemurah, kesatria, suka menolong dan melindungi tetangga  dan sebagainya yang biasa dipunyai oleh kabilah-kabilah Arab yang  hidup dalam iklim jazirah Arab.

Nama dan julukannya
Para penulis biografi Abu Bakr itu tidak terbatas hanya pada kabilahnya saja seperti yang sudah saya sebutkan, tetapi mereka  memulai juga dengan menyebut namanya dan nama kedua  orangtuanya.  Lalu melangkah ke masa anak-anak, masa muda dan  masa  remaja, sampai pada apa yang dikerjakannya. Disebutkan bahwa  namanya Abdullah bin Abi Quhafah, dan Abu Quhafah ini pun nama  sebenarnya Usman bin Amir, dan ibunya, Ummul-Khair, sebenarnya  bernama Salma bint Sakhr bin Amir. Disebutkan juga, bahwa sebelum Islam ia bernama Abdul Ka'bah. Setelah masuk Islam oleh Rasulullah ia dipanggil Abdullah. Ada juga yang mengatakan bahwa tadinya ia bernama Atiq,   karena dari pihak ibunya tak pernah ada anak laki-laki yang hidup. Lalu  ibunya bernazar jika ia melahirkan anak laki-laki akan diberi nama  Abdul Ka'bah  dan akan disedekahkan kepada Ka'bah.  Sesudah Abu   Bakr hidup dan menjadi besar, ia diberi nama Atiq, seolah ia telah  dibebaskan dari maut.
Tetapi sumber-sumber itu lebih jauh menyebutkan bahwa Atiq itu bukan namanya, melainkan suatu julukan karena warna kulitnya yang putih. Sumber yang lain lagi malah menyebutkan, bahwa ketika  Aisyah putrinya ditanyai: mengapa Abu Bakr diberi nama Atiq ia  menjawab: Rasulullah memandang kepadanya lalu katanya: Ini yang  dibebaskan Allah dari neraka; atau karena suatu hari Abu Bakr  datang  bersama sahabat-sahabatnya lalu Rasulullah berkata: Barang  siapa ingin melihat orang yang dibebaskan dari neraka lihatlah ini. Mengenai gelar Abu Bakr yang dibawanya dalam hidup  sehari-hari sumber-sumber itu tidak menyebutkan alasannya, meskipun  penulis-penulis kemudian ada yang menyimpulkan bahwa dijuluki  begitu karena ia orang paling dini (Bakr berarti dini (A). — Pnj.)dalam Islam dibanding dengan yang  lain.

Masa mudanya
Semasa kecil Abu Bakr hidup seperti umumnya anak-anak di  Mekah. Lepas masa anak-anak ke masa usia remaja ia bekerja  sebagai pedagang pakaian. Usahanya ini mendapat sukses. Dalam usia muda itu ia kawin dengan Qutailah bint Abdul Uzza. Dari perkawinan  ini lahir Abdullah dan Asma'. Asma' inilah yang kemudian dijuluki  Zatun-Nitaqain. Sesudah dengan Qutailah ia kawin lagi dengan  Umm  Rauman bint Amir bin Uwaimir. Dari perkawinan ini lahir pula  Abdur-Rahman dan Aisyah. Kemudian di Medinah ia kawin dengan  Habibah bint Kharijah, setelah itu dengan Asma' bint Umais yang  melahirkan Muhammad. Sementara itu usaha dagangnya berkembang  pesat dan dengan sendirinya ia memperoleh laba yang cukup besar.

Perawakan dan perangainya
Keberhasilannya dalam perdagangan itu mungkin saja disebabkan oleh pribadi dan wataknya. Berperawakan kurus, putih, dengan sepasang  bahu  yang  kecil dan  muka lancip dengan  mata yang cekung disertai dahi yang agak menonjol dan urat-urat tangan yang tampak jelas — begitulah dilukiskan oleh putrinya, Aisyah Ummulmukminin. Begitu damai perangainya, sangat lemah lembut dan sikapnya tenang sekali. Tak mudah ia terdorong oleh hawa nafsu. Dibawa oleh  sikapnya yang selalu tenang, pandangannya yang jernih serta pikiran  yang tajam, banyak kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan  masyarakat  yang tidak diikutinya. Aisyah menyebutkan bahwa ia tak pernah  minum minuman keras, di zaman jahiliah atau Islam, meskipun  penduduk Mekah umumnya sudah begitu hanyut ke dalam khamar dan mabuk-mabukan. Ia seorang ahli genealogi — ahli silsilah — bicaranya sedap dan pandai bergaul.
Seperti dilukiskan oleh Ibn Hisyam, penulis kitab Sirah:
"Abu Bakr adalah laki-laki yang akrab di kalangan  masyarakatnya, disukai karena ia serba mudah. Ia dari keluarga  Kuraisy yang paling dekat dan paling banyak mengetahui seluk-beluk  kabilah itu, yang baik dan yang jahat. Ia seorang pedagang dengan  perangai yang sudah cukup terkenal. Karena suatu masalah,  pemuka-pemuka masyarakatnya sering datang menemuinya, mungkin  karena pengetahuannya, karena perdagangannya atau mungkin juga karena cara bergaulnya yang enak."

Kecintaannya pada Mekah dan hubungannya dengan Muhammad
Ia tinggal di Mekah, di kampung yang sama dengan Khadijah  bint Khuwailid, tempat saudagar-saudagar terkemuka yang membawa  perdagangan dalam perjalanan musim dingin dan musim panas ke  Syam1 dan ke Yaman. Karena bertempat tinggal di kampung itu,  itulah  yang membuat hubungannya dengan Muhammad begitu akrab  setelah Muhammad kawin dengan Khadijah dan kemudian tinggal  serumah. Hanya dua tahun beberapa bulan saja Abu Bakr lebih muda  dari Muhammad. Besar sekali kemungkinannya, usia yang tidak  berjauhan itu, persamaan bidang usaha serta ketenangan jiwa dan  perangainya, di samping ketidaksenangannya pada  kebiasaan-kebiasaan   Kuraisy — dalam kepercayaan dan adat — mungkin sekali itulah semua yang berpengaruh dalam persahabatan  Muhammad dengan Abu Bakr. Beberapa sumber berbeda pendapat,  sampai berapa jauh eratnya persahabatan itu sebelum Muhammad  menjadi Rasul. Di antara mereka ada yang menyebutkan bahwa  persahabatan itu sudah begitu akrab sejak sebelum kerasulan, dan  bahwa keakraban itu pula yang membuat Abu Bakr cepat-cepat menerima Islam.
Ada pula yang lain menyebutkan, bahwa akrabnya hubungan itu baru kemudian dan bahwa keakraban pertama itu tidak lebih hanya karena bertetangga dan adanya kecenderungan yang sama. Mereka yang mendukung pendapat ini barangkali karena kecenderungan Muhammad yang suka menyendiri dan selama bertahun-tahun sebelum kerasulannya menjauhi orang banyak. Setelah Allah mengangkatnya sebagai Rasul teringat ia pada Abu Bakr dan kecerdasan otaknya. Lalu diajaknya ia bicara dan diajaknya menganut ajaran tauhid. Tanpa ragu Abu Bakr pun menerima ajakan itu. Sejak itu terjadilah hubungan yang lebih akrab antara kedua orang itu. Kemudian keimanan Abu Bakr makin mendalam dan kepercayaannya kepada Muhammad dan risalahnya pun bertambah kuat. Seperti dikatakan oleh Aisyah: "Yang kuketahui  kedua orangtuaku sudah memeluk agama ini, dan setiap kali lewat di  depan rumah kami, Rasulullah selalu singgah ke tempat kami, pagi  atau  sore."

Menerima dakwah tanpa ragu dan sebabnya
Sejak hari pertama Abu Bakr sudah bersama-sama dengan  Muhammad melakukan dakwah demi agama Allah. Keakraban  masyarakatnya dengan dia, kesenangannya bergaul dan mendengarkan  pembicaraannya, besar pengaruhnya terhadap Muslimin yang  mula-mula  itu dalam masuk Islam itu. Yang mengikuti jejak Abu  Bakr menerima Islam ialah Usman bin Affan, Abdur-Rahman bin  Auf,  Talhah bin Ubaidillah, Sa'd bin Abi Waqqas dan Zubair bin  Awwam. Sesudah mereka yang kemudian  menyusul  masuk  Islam — atas  ajakan  Abu  Bakr — ialah  Abu Ubaidah bin larrah dan  banyak lagi yang lain dari penduduk Mekah.
Adakalanya  orang  akan  merasa  heran  betapa  Abu  Bakr. tidak merasa ragu menerima Islam ketika pertama kali disampaikan  Muhammad kepadanya itu. Dan karena menerimanya tanpa ragu itu  kemudiaYi Rasulullah berkata:



"Tak seorang pun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu, kecuali Abu  Bakr bin Abi Quhafah.  la tidak menunggu-nunggu dan tidak ragu  ketika kusampaikan kepadanya."
Sebenarnya tak perlu heran tatkala Muhammad menerangkan kepadanya tentang tauhid dan dia diajaknya lalu menerimanya. Bahkan yang lebih mengherankan lagi bila Muhammad menceritakan kepadanya mengenai gua Hira dan wahyu yang diterimanya, ia  mempercayainya tanpa ragu. Malah keheranan kita bisa hilang, atau  berkurang, bila kita ketahui bahwa Abu Bakr adalah salah seorang  pemikir Mekah yang memandang penyembahan berhala itu suatu  kebodohan dan kepalsuan belaka. Ia sudah mengenai benar  Muhammad — kejujurannya, kelurusan hatinya serta kejernihan  pikirannya. Semua itu tidak memberi peluang dalam hatinya untuk  merasa ragu, apa yang telah diceritakan kepadanya, dilihatnya dan  didengarnya. Apalagi karena apa yang diceritakan Rasulullah  kepadanya itu dilihatnya memang sudah  sesuai dengan pikiran yang  sehat. Pikirannya tidak merasa ragu lagi, ia sudah mempercayainya dan  menerima semua itu.

Keberaniannya menerima Islam dan menyiarkannya
Tetapi apa yang menghilangkan kekaguman kita tidak mengubah penghargaan kita atas keberaniannya tampil ke depan umum dalam  situasi ketika orang masih serba menunggu, ragu dan sangat  berhati-hati. Keberanian Abu Bakr ini patut sekali kita hargai,  mengingat dia pedagang, yang demi perdagangannya diperlukan  perhitungan guna menjaga hubungan baik dengan orang lain serta  menghindari konfrontasi dengan mereka, yang akibatnya berarti  menentang pandangan dan kepercayaan mereka. Ini dikhawatirkan  kelak  akan berpengaruh buruk terhadap hubungan dengan para relasi  itu.
Berapa banyak orang yang memang tidak percaya pada  pandangan itu dan dianggapnya suatu kepalsuan, suatu cakap kosong  yang tak mengandung arti apa-apa, lalu dengan sembunyi-sembunyi  atau berpura-pura berlaku sebaliknya hanya untuk mencari selamat,  mencari keuntungan di balik semua itu, menjaga hubungan dagangnya dengan mereka. Sikap munafik begini kita jumpai bukan di kalangan  awamnya, tapi di kalangan tertentu dan kalangan terpelajarnya juga.  Bahkan akan kita jumpai di kalangan mereka yang menamakan diri  pemimpin dan katanya hendak membela kebenaran. Kedudukan Abu  Bakr yang sejak semula sudah dikatakan oleh Rasulullah itu, patut  sekali ia mendapat penghargaan, patut dikagumi.
Usaha Abu Bakr melakukan dakwah Islam itulah yang patut dikagumi. Barangkali ada juga orang yang berpandangan semacam dia, merasa sudah cukup puas dengan mempercayainya secara diam-diam dan tak perlu berterang-terang di depan umum agar perdagangannya selamat, berjalan lancar. Dan barangkali Muhammad pun merasa  cukup puas dengan sikap demikian itu dan sudah boleh dipuji. Tetapi Abu Bakr dengan menyatakan terang-terangan keislamannya itu, lalu  mengajak orang kepada ajaran Allah dan Rasulullah dan meneruskan  dakwahnya untuk meyakinkan kaum Muslimin yang mula-mula untuk  mempercayai Muhammad dan mengikuti ajaran agamanya,  inilah yang belum pernah  dilakukan  orang;  kecuali  mereka  yang   sudah  begitu  tinggi jiwanya, yang sudah sampai pada tingkat  membela kebenaran demi kebenaran. Orang demikian ini sudah berada  di atas kepentingan hidup pribadinya sehari hari. Kita lihat, dalam  membela agama, dalam berdakwah untuk agama, segala kebesaran  dan kemewahan hidup duniawinya dianggapnya kecil belaka. Demikianlah keadaan Abu Bakr dalam persahabatannya dengan Muhammad, sejak ia memeluk Islam, hingga Rasulullah berpulang ke sisi Allah dan Abu Bakr pun kemudian kembali ke sisi-Nya.

Abu Bakr orang pertama yang memperkuat agama
Teringat saya tatkala Hamzah bin Abdul Muttalib dan Umar bin Khattab masuk Islam, betapa besar pengaruh mereka itu dalam memperkuat Islam, dan bagaimana pula Allah memperkuat Islam dengan kedua mereka itu. Keduanya terkenal garang dan berpendirian teguh, kuat, ditakuti oleh lawan. Juga saya ingat, betapa Abu Bakr ketika ia masuk Islam. Tidak ragu kalau saya mengatakan, bahwa dialah orang pertama yang ditempatkan Allah untuk memperkuat agama-Nya.  Orang yang begitu damai jiwanya, tenang, sangat lemah lembut dan  perkasa. Matanya mudah berlinang begitu melihat kesedihan menimpa  orang lain. Ternyata orang ini menyimpan iman yang begitu kuat  terhadap agama baru ini, terhadap Rasul utusan Allah. Ternyata ia tak dapat ditaklukkan.
Adakah suatu kekuatan di dunia ini yang dapat melebihi  kekuatan iman! Adakah suatu kemampuan seperti kemampuan iman  dalam hidup ini! Orang yang mengira, bahwa kekuatan despotisma  dan  kekuasaan punya pengaruh besar di dunia ini, ia sudah  terjerumus  ke dalam jurang kesalahan. Jiwa yang begitu damai, begitu  yakin dengan keimanannya akan kebenaran, yang mengajak orang  berdakwah dengan cara yang bijaksana dan nasihat yang baik, dengan  cara yang lemah lembut, yang bersumber dari akhlak yang mulia dan  perangai yang lembut, bergaul dengan orang-orang lemah,  orang-orang  papa dan kaum duafa, yang dalam penderitaannya sebagai  salah satu sarana dakwahnya — jiwa inilah yang sepantasnya  mencapai sasaran sebagaimana dikehendaki, karena ia mudah diacu dan  keluar sesuai dengan pola yang ada padanya.
Itulah jejak Abu Bakr r.a. pada tahun-tahun pertama dakwah  Islam, dan terus berjalan  sampai pada waktu  ia memangku jabatan  selaku Khalifah, dan berlangsung terus sampai akhir hayatnya.

Melindungi golongan lemah dengan hartanya
Dalam menjalankan dakwah itu tidak hanya berbicara saja  dengan kawan-kawannya dan meyakinkan mereka, dan dalam  menghibur kaum duafa dan orang-orang miskin yang disiksa dan  dianiaya oleh musuhmusuh dakwah, tidak hanya dengan kedamaian  jiwanya, dengan sifatnya yang lemah lembut, tetapi ia menyantuni  mereka dengan hartanya. Digunakannya hartanya itu untuk membela  golongan lemah dan orangorang tak punya, yang telah mendapat  petunjuk Allah ke jalan yang benar, tetapi lalu dianiaya oleh  musuh-musuh kebenaran itu. Sudah cukup diketahui, bahwa ketika ia masuk Islam, hartanya  tak kurang dari empat puluh ribu dirham yang disimpannya dari hasil  perdagangan. Dan selama dalam Islam ia terus berdagang dan  mendapat laba yang cukup besar. Tetapi setelah hijrah ke Medinah  sepuluh tahun kemudian, hartanya itu hanya tinggal lima ribu dirham.  Sedang semua harta yang ada padanya dan yang disimpannya,  kemudian habis untuk kepentingan dakwah, mengajak orang ke jalan  Allah dan demi agama dan Rasul-Nya. Kekayaannya itu digunakan  untuk menebus orang-orang lemah dan budak-budak yang masuk  Islam,  yang oleh majikannya disiksa dengan pelbagai cara, tak lain  hanya karena mereka masuk Islam.
Suatu hari Abu Bakr melihat Bilal yang negro itu oleh tuannya  dicampakkan ke ladang yang sedang membara oleh panas matahari, dengan menindihkan batu di dadanya lalu dibiarkannya agar ia mati  dengan begitu, karena ia masuk Islam. Dalam keadaan semacam itu  tidak lebih Bilal hanya mengulang-ulang kata-kata: Ahad, Ahad.  Ketika  itulah ia dibeli oleh Abu Bakr kemudian dibebaskan! Begitu juga Amir bin Fuhairah oleh Abu Bakr ditebus dan ditugaskan  menggembalakan kambingnya. Tidak sedikit budak-budak itu yang  disiksa, laki-laki dan perempuan, oleh Abu Bakr dibeli lalu  dibebaskan.

Peranan sebagai semenda Nabi
Tetapi Abu Bakr sendiri pun tidak bebas dari gangguan Kuraisy. Sama halnya dengan Muhammad sendiri yang juga tidak lepas dari  gangguan itu dengan kedudukannya yang sudah demikian rupa di  kalangan kaumnya serta perlindungan Banu Hasyim kepadanya.  Setiap Abu Bakr melihat Muhammad diganggu oleh Kuraisy ia  selalu  siap membelanya dan mempertaruhkan nyawanya untuk  melindunginya. Ibn Hisyam menceritakan, bahwa perlakuan yang paling jahat dilakukan Kuraisy terhadap Rasulullah ialah setelah agama dan dewa-dewa mereka dicela. Suatu hari mereka berkumpul di Hijr, dan satu sama lain mereka berkata: "Kalian mengatakan apa yang didengarnya dari kalian dan  apa yang kalian dengar tentang dia. Dia memperlihatkan kepadamu  apa yang tak kamu sukai lalu kamu tinggalkan dia."
Sementara mereka dalam keadaan serupa itu tiba-tiba datang Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam. Sekaligus ia diserbu  bersama-sama oleh mereka dan mengepungnya seraya berkata: Engkau  yang berkata begini dan begini? Maksudnya yang mencela  berhala-berhala dan kepercayaan mereka. Maka Rasulullah   Sallallahu   'alaihi wasallam pun menjawab: Ya, memang aku yang  mengatakan. Salah seorang di antara mereka langsung menarik  bajunya.  Abu Bakr sambil menangis menghalanginya seraya  katanya:   Kamu  mau membunuh orang yang mengatakan hanya  Allah Tuhanku! Mereka kemudian bubar. Itulah yang kita lihat  perbuatan Kuraisy yang luar biasa kepadanya.
Tetapi peristiwa ini belum seberapa dibandingkan dengan  peristiwaperistiwa lain yang benar-benar memperlihatkan keteguhan  iman Abu Bakr kepada Muhammad dan risalahnya itu. Sedikit pun  tak  pernah goyah.  Dan  iman  itu jugalah yang membuat tidak   sedikit  kalangan Orientalis tidak jadi melemparkan tuduhan kepada  Nabi, seperti yang biasa dilakukan oleh mereka yang suka  berlebih-lebihan. Dengan ketenangan dan kedamaian hatinya yang  demikian rupa, keimanan Abu Bakr tidak akan sedemikian tinggi,  kalau ia tidak melihat segala perbuatan Rasulullah yang memang  jauh dari segala yang meragukan, terutama pada waktu Rasulullah   sedang menjadi sasaran penindasan masyarakatnya. Iman yang mengisi  jiwa Abu Bakr ini jugalah yang telah mempertahankan Islam,  sementara yang lain banyak yang meninggalkannya tatkala  Rasulullah  berbicara kepada mereka mengenai peristiwa Isra.

Sikapnya mengenai kisah Isra
Muhammad berbicara kepada penduduk Mekah bahwa Allah telah memperjalankannya malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaksa  dan bahwa ia bersembahyang di sana. Oleh orang-orang musyrik  kisah  itu diperolok, malah ada sebagian yang sudah Islam pun merasa  ragu. Tidak sedikit orang yang berkata ketika itu: Soalnya sudah  jelas.  Perjalanan kafilah Mekah-Syam yang terus-menerus pun  memakan waktu sebulan pergi dan sebulan pulang. Mana mungkin  hanya satu malam saja Muhammad pergi pulang ke Mekah!
Tidak sedikit mereka yang sudah Islam kemudian berbalik  murtad, dan tidak sedikit pula yang masih merasa sangsi. Mereka pergi  menemui Abu Bakr, karena mereka mengetahui keimanannya dan  persahabatannya dengan Muhammad. Mereka menceritakan apa yang  telah dikatakannya kepada mereka itu mengenai Isra. Terkejut  mendengar apa yang mereka katakan itu Abu Bakr berkata:
"Kalian berdusta."
"Sungguh," kata mereka. "Dia di mesjid sedang berbicara dengan orang banyak."
"Dan kalaupun itu yang dikatakannya," kata Abu Bakr lagi,  "tentu ia mengatakan yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku,  bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu malam  atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu herankan."
Abu Bakr lalu pergi ke mesjid dan mendengarkan Nabi yang  sedang melukiskan keadaan Baitulmukadas. Abu Bakr sudah pernah  mengunjungi kota itu.
Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakr berkata: "Rasulullah, saya percaya."
Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakr dengan "as-Siddlq". (Siddiq, orang yang selalu membenarkan, percaya, yang menerapkan kata dengan perbuatan, yang kemudian menjadi gelar Abu Bakr (al-Mu'jam al-Wasit); orang yang  mencintai kebenaran, yakni Nabi Ibrahim dan Nabi Idris (Qur'an, 19. 41, 56). — Pnj.)
Pernahkah suatu kali orang bertanya dalam hati: Sekiranya Abu Bakr juga sangsi seperti yang lain mengenai apa yang diceritakan Rasulullah tentang Isra itu, maka apa pula kiranya yang akan terjadi dengan agama yang baru tumbuh ini, akibat kesangsian itu?  Dapatkah orang memperkirakan berapa banyak jumlah orang yang akan jadi murtad, dan goyahnya keyakinan dalam hati kaum Muslimin yang  lain? Pernahkah kita ingat, betapa jawaban Abu Bakr ini  memperkuat  keyakinan orang banyak, dan betapa pula ketika itu ia telah  memperkuat kedudukan Islam?
Kalau dalam hati orang sudah bertanya-tanya, sudah memperkirakan dan sudah pula ingat, niscaya ia tak akan ragu lagi memberikan penilaian, bahwa iman yang sungguh-sungguh adalah kekuatan yang paling besar dalam hidup kita ini, lebih besar daripada kekuatan kekuasaan dan despotisma sekaligus. Kata-kata Abu Bakr itu  sebenarnya merupakan salah satu inayah Ilahi demi agama yang benar  ini. Katakata itulah sebenarnya yang merupakan pertolongan dan  dukungan yang besar, melebihi dukungan yang diberikan oleh  kekuatan  Hamzah dan Umar sebelumnya. Ini memang suatu kenyataan apabila di dalam  seja-
rah Islam Abu Bakr mempunyai tempat tersendiri sehingga  Rasulullah berkata: "Kalau ada di antara hamba Allah yang akan  kuambil sebagai khalil (teman kesayangan), maka Abu Bakr-lah   khalil-ku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ialah dalam iman,  sampai tiba saatnya Allah mempertemukan kita."
Kata-kata Abu Bakr mengenai Isra itu menunjukkan pemahamannya yang dalam tentang wahyu dan risalah, yang tidak dapat  ditangkap oleh kebanyakan orang. Di sinilah pula Allah telah  memperlihatkan kebijakan-Nya tatkala Rasulullah memilih seorang  teman dekatnya saat ia dipilih oleh Allah menjadi Rasul-Nya untuk  menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia. Itulah pula bukti  yang kuat, bahwa kata yang baik seperti pohon yang baik, akarnya  tertanam kukuh dan cabangnya (menjulang) ke langit, dengan jejak yang abadi sepanjang zaman, dengan karunia Allah. Ia tak akan  dikalahkan oleh waktu, tak akan dilupakan.

Tugasnya sesudah Isra
Sesudah peristiwa Isra itu, sebagai orang yang cukup berpengalaman akan seluk-beluk perbatasan, Abu Bakr tetap menjalankan  usaha dagangnya. Sebagian besar waktunya ia gunakan menemani  Rasulullah dan untuk menjaga orang-orang lemah yang sudah masuk  Islam, melindungi mereka dari gangguan Kuraisy di samping  mengajak mereka yang mulai tergugah hatinya kepada Islam.
Sementara Kuraisy begitu keras mengganggu Nabi dan Abu Bakr serta kaum Muslimin yang lain, belum terlintas dalam pikiran Abu  Bakr akan hijrah ke Abisinia bersama-sama kaum Muslimin yang lain  yang mau tetap bertahan dengan agama mereka.(Ada juga sumber yang menyebutkan, bahwa Abu Bakr bermaksud pergi bersama-sama mereka yang hijrah ke Abisinia; tetapi ia bertemu dengan Rabiah bin ad-Dugunnah yang berkata kepadanya: "Wah, jangan ikut hijrah. Engkau penghubung tali kekeluargaan, engkau yang membenarkan peristiwa Isra, membantu orang tak punya dan engkau  yang mengatur pasang surutnya keadaan." Ia lalu diberi perlindungan keamanan oleh Kuraisy. Abu Bakr tetap tinggal di Mekah dan di serambi rumahnya ia membangun  sebuah  mesjid. Di tempat itu ia sembahyang dan membaca Qur'an. Sekarang Kuraisy  merasa khawatir, perempuan-perempuan dan pemuda-pemuda mereka akan tergoda.  Mereka mengadu kepada Ibn ad-Dugunnah. Abu Bakr mengembalikan jaminan  perlindungan itu dan ia tetap tinggal di Mekah menghadapi segala gangguan.)   Malah ia tetap  tinggal di Mekah bersama Muhammad, berjuang mati-matian demi  dakwah di jalan Allah sambil belajar tentang segala yang  diwahyukan Allah kepada Nabi untuk disiarkan kepada umat manusia.  Dan dengan segala senang hati disertai sifatnya yang lemah lembut, semua harta pribadinya dikorbankannya demi kebaikan mereka yang sudah masuk Islam dan  demi mereka yang diharapkan mendapat petunjuk Allah bagi yang belum  masuk Islam.
Kaum Muslimin di Mekah ketika itu memang sangat  memerlukan perjuangan serupa itu, memerlukan sekali perhatian Abu  Bakr. Dalam pada itu Muhammad masih menerima wahyu dari Allah  dan ia sudah tidak lagi mengharapkan penduduk Mekah akan  menyambut ajakannya itu. Maka ia mengalihkan perhatian kepada kabilah-kabilah. Ia menawarkan diri dan mengajak mereka kepada  agama Allah. Ia telah pergi ke Ta'if, meminta pengertian penduduk  kota itu. Tetapi ia ditolak dengan cara yang tidak wajar. Dalam  hubungannya dengan Tuhan selalu ia memikirkan risalahnya itu dan  untuk berdakwah ke arah itu serta caracaranya untuk menyukseskan  dakwahnya itu.
Dalam pada itu Kuraisy juga tak pernah tinggal diam dan tak  pernah berhenti mengadakan perlawanan. Di samping semua itu, Abu  Bakr juga selalu memikirkan nasib kaum Muslimin yang tinggal di  Mekah, mengatur segala cara untuk ketenteraman dan keamanan hidup  mereka.

Usaha mencegah gangguan Kuraisy
Kalaupun buku-buku sejarah dan mereka yang menulis biografi Abu Bakr tidak menyebutkan usahanya, apa yang disebutkan itu  sudah memadai juga. Tetapi sungguhpun begitu dalam hati saya  terbayang jelas segala perhatiannya itu, serta hubungannya yang  terus-menerus dengan Hamzah, dengan Umar, dengan Usman serta  dengan pemukapemuka Muslimin yang lain untuk melindungi  golongan lemah yang sudah masuk Islam dari gangguan Kuraisy.  Bahkan saya membayangkan hubungannya dulu dengan kalangan luar  Islam, dengan mereka yang tetap berpegang pada kepercayaan mereka,  tetapi berpendapat bahwa Kuraisy tidak berhak memusuhi orang yang  tidak sejalan dengan kepercayaan mereka dalam menyembah  berhala-berhala itu.
Dalam sejarah hidup Rasulullah kita sudah melihat, di antara mereka banyak juga yang membela kaum Muslimin dari gangguan  Kuraisy itu. Juga kita melihat mereka yang telah bertindak  membatalkan piagam pemboikotan tatkala orang-orang Kuraisy sepakat  hendak memboikot Muhammad dan sahabat-sahabatnya serta  memblokade mereka selama tiga tahun terus-menerus di celah-celah  gunung di pinggiran kota Mekah, supaya tak dapat berhubungan dan  berbicara dengan orang di luar selain pada bulan-bulan suci. Saya  yakin, bahwa Abu Bakr, dalam menggerakkan  mereka yang bukan   pengikut-pengikut agama Muhammad, namun turut marah melihat tindakan-tindakan Kuraisy terhadapnya itu, punya pengaruh besar, karena sifatnya yang lemah lembut, tutur katanya yang ramah serta pergaulannya yang menarik. Tindakan Abu  Bakr dalam melindungi kaum Muslimin ketika agama ini baru  tumbuh,  itu pula yang menyebabkan Muhammad lebih dekat kepadanya.  Inilah yang telah mempertalikan kedua orang itu dengan  tali persaudaraan dalam iman, sehingga Muhammad memilihnya  sebagai  teman dekatnya (khalilnya).
Setelah dengan izin Allah agama ini mendapat kemenangan  dengan kekuatan penduduk Yasrib (Medinah) sesudah kedua ikrar  Aqabah, Muhammad pun mengizinkan sahabat-sahabatnya hijrah ke  kota itu. Sama halnya dengan sebelum itu, ia mengizinkan  sahabat-sahabatnya hijrah ke Abisinia. Orang-orang Kuraisy tidak tahu,  Muhammad ikut hijrah atau tetap tinggal di Mekah seperti tatkala  kaum Muslimin dulu hijrah ke Abisinia.
Tahukah Abu Bakr maksud Muhammad, yang oleh Kuraisy tidak diketahui? Segala yang disebutkan mengenai ini hanyalah, bahwa  Abu Bakr meminta izin kepada Muhammad akan pergi hijrah, dan  dijawab: "Jangan tergesa-gesa, kalau-kalau Allah nanti memberikan  seorang teman kepadamu." Dan tidak lebih dari itu.

Bersiap-siap, kemudian hijrah
Di sini dimulai lagi sebuah lembaran baru, lembaran iman yang begitu kuat kepada Allah dan kepada Rasulullah. Abu Bakr sudah  mengetahui benar, bahwa sejak kaum Muslimin hijrah ke Yasrib,  pihak  Kuraisy memaksa mereka yang dapat dikembalikan ke Mekah  harus dikembalikan, dipaksa meninggalkan agama itu. Kemudian  mereka disiksa, dianiaya. Juga ia mengetahui, bahwa orang-orang  musyrik itu berkumpul di DarunNadwah, berkomplot hendak  membunuh Muhammad. Kalau ia menemani Muhammad dalam  hijrahnya itu lalu Kuraisy bertindak membunuh Muhammad, tidak  bisa tidak Abu Bakr juga pasti dibunuhnya. Sungguhpun begitu,  ketika ia oleh Muhammad diminta menunda, ia pun tidak ragu.  Bahkan ia merasa sangat gembira, dan yakin benar ia bahwa kalau ia  hijrah bersama Rasulullah, Allah akan memberikan pahala dan ini  suatu kebanggaan yang tiada taranya. Kalau sampai ia mati terbunuh  bersama dia, itu adalah mati syahid yang akan mendapat surga.
Sejak itu Abu Bakr sudah menyiapkan dua ekor unta sambil  menunggu perkembangan lebih lanjut bersama kawannya itu. Sementara sore itu ia di rumah tiba-tiba datang Muhammad  seperti biasa tiap sore. Ia memberitahukan bahwa Allah telah  mengizinkan ia hijrah ke Yasrib. Abu Bakr menyampaikan keinginannya kepada Rasulullah sekiranya dapat menemaninya dalam hijrahnya itu; dan permintaannya itu pun dikabulkan.
Khawatir Muhammad akan melarikan diri sesudah kembali ke rumahnya, pemuda-pemuda Kuraisy segera mengepungnya.  Muhammad membisikkan kepada Ali bin Abi Talib supaya ia  mengenakan mantel Hadramautnya yang hijau dan berbaring di tempat  tidurnya. Hal itu dilakukan oleh Ali. Lewat tengah malam, dengan  tidak setahu pemudapemuda Kuraisy ia keluar pergi ke rumah Abu  Bakr. Ternyata Abu Bakr memang sedang jaga menunggunya. Kedua  orang itu kemudian keluar dari celah pintu belakang dan bertolak ke  arah selatan menuju Gua Saur. Di dalam gua itulah mereka bersembunyi. Pemuda-pemuda Kuraisy itu segera bergegas ke setiap lembah  dan gunung mencari Muhammad untuk dibunuh. Sampai di Gua Saur salah seorang dari mereka naik ke atas gua  itu kalau-kalau dapat menemukan jejaknya. Saat itu Abu Bakr sudah  mandi keringat ketika terdengar suara mereka memanggil-manggil. Ia  menahan nafas, tidak bergerak dan hanya menyerahkan nasib kepada  Allah. Tetapi Muhammad masih tetap berzikir dan berdoa kepada  Allah. Abu Bakr makin merapatkan diri ke dekat kawannya itu, dan  Muhammad berbisik di telinganya:
"Jangan bersedih hati. Tuhan bersama kita."
Pemuda-pemuda Kuraisy itu melihat ke sekeliling gua dan yang  dilihatnya hanya laba-laba yang sedang menganyam sarangnya di mulut gua itu. la kembali ke tempat teman-temannya dan mereka bertanya kenapa ia tidak masuk. "Ada laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada sejak sebelum Muhammad lahir." Dengan perasaan  dongkol pemuda-pemuda itu pergi meninggalkan tempat tersebut.  Setelah mereka menjauh Muhammad berseru: "Alhamdulillah, Allahu  Akbar!" Apa yang disaksikan Abu Bakr itu sungguh makin  menambah  kekuatan imannya.

Apa penyebab ketakutan Abu Bakr ketlka dalam gua?
Adakah rasa takut pada Abu Bakr itu sampai ia bermandi  keringat dan merapatkan diri kepada Rasulullah karena ia sangat  mendambakan kehidupan dunia, takut nasibnya ditimpa bencana? Atau  karena ia tidak memikirkan dirinya lagi tapi yang dipikirkannya hanya  Rasulullah dan jika mungkin ia akan mengorbankan diri demi  Rasulullah? Bersumber dari Hasan bin Abil-Hasan al-Basri, Ibn  Hisyam  menuturkan: "Ketika malam itu Rasulullah Sallallahu  'alaihi  wasallam dan Abu Bakr memasuki gua, Abu Bakr  radiallahu   'anhu  masuk lebih dulu  sebelum Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam sambil meraba-raba gua itu untuk mengetahui kalau-kalau di tempat itu ada binatang buas atau  ular.  Ia mau melindungi Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam dengan  dirinya."
Begitu juga sikapnya ketika dalam keadaan begitu genting demikian terdengar suara pemuda-pemuda Kuraisy, ia berbisik di telinga Nabi: "Kalau saja mereka ada yang menjenguk ke bawah, pasti  mereka melihat kita." Pikirannya bukan apa yang akan menimpa  dirinya, tetapi yang dipikirkannya Rasulullah dan perkembangan  agama,  yang untuk itu ia berdakwah atas perintah Allah, kalau  sampai  pemuda-pemuda itu berhasil membunuhnya. Bahkan barangkali  pada saat itu tiada lain yang dipikirkannya, seperti seorang ibu yang  khawatir akan keselamatan anaknya. Ia gemetar ketakutan, ia gelisah.  Tak lagi ia dapat berpikir. Bila ada bahaya mengancam, ia akan terjun  melemparkan diri ke dalam bahaya itu, sebab ia ingin melindungi  atau  mati demi anaknya itu. Ataukah Abu Bakr memang lebih gelisah  dari ibu itu, lebih menganggap enteng segala bahaya yang datang,  karena imannya kepada Allah dan kepada Rasulullah memang sudah  lebih kuat dari cintanya kepada kehidupan dunia, dari naluri seorang  ibu dan dari segala yang dapat dirasakan oleh perasaan kita dan apa  yang terlintas dalam pikiran kita?! Coba kita bayangkan, betapa iman  itu menjelma di depannya, dalam diri Rasulullah, dan dengan itu  segala makna yang kudus menjelma pula dalam bentuk kekudusan dan  kerohaniannya yang agung dan cemerlang!
Saat ini saya membayangkan Abu Bakr sedang duduk dan  Rasulullah di sampingnya. Juga saya membayangkan bahaya yang  sedang mengancam kedua orang  itu.  Imajinasi  saya tak dapat  membantu  mengugkapkan segala yang terkandung dalam lukisan  hidup yang luar biasa ini, tak ada bandingannya dalam bentuk yang  bagaimanapun.

Apa artinya pengorbanan raja-raja dan para pemimpin  dibandingkan dengan pengorbanan Rasulullah
Sejarah menceritakan kepada kita kisah orang-orang yang telah  mengorbankan diri demi seorang pemimpin atau raja. Dan pada  zaman kita ini pun banyak pemimpin yang dikultuskan orang. Mereka  lebih dicintai daripada diri mereka sendiri. Tetapi keadaan Abu Bakr  dalam gua jauh berbeda. Para pakar psikologi perlu sekali membuat  analisis yang cermat tentang dia, dan yang benar-benar dapat  melukiskan keadaannya itu. Apa artinya keyakinan orang kepada  seorang pemimpin dan raja dibandingkan dengan keyakinan Abu Bakr  kepada Rasulullah yang telah menjadi pilihan Allah dan  mewahyukannya dengan agama yang benar!? Dan apa pula artinya  pengorbanan orang untuk pemimpin-pemimpin dan raja-raja itu dibandingkan dengan apa yang  berkecamuk dalam pikiran Abu Bakr saat itu, yang begitu khawatir  terjadi bahaya menimpa keselamatan Rasulullah. Lebih-lebih lagi jika  tak sampai dapat menolak bahaya itu. Inilah keagungan yang sungguh  cemerlang, yang rasanya sudah tak mungkin dapat dilukiskan lagi.  Itulah sebabnya penulis-penulis biografi tak ada yang menyinggung  soal ini.
Setelah putus asa mereka mencari dua orang itu, keduanya  keluar dari tempat persembunyian  dan  meneruskan perjalanan.  Dalam   perjalanan itu pun bahaya yang mereka hadapi tidak kurang pula  dari bahaya yang mengancam mereka selama di dalam gua.
Abu Bakr masih dapat membawa sisa laba perdagangannya sebanyak lima ribu dirham. Setiba di Medinah dan orang menyambut  Rasulullah begitu meriah, Abu Bakr memulai hidupnya di kota itu  seperti halnya dengan  kaum Muhajirin  yang  lain,  meskipun   kedudukannya tetap di samping Rasulullah, kedudukan sebagai  khalil,   sebagai  asSiddlq dan sebagai menteri penasehat.

Abu Bakr di Madinah
Abu Bakr tinggal di Sunh di pinggiran kota Medinah, pada keluarga Kharijah bin Zaid dari Banu al-Haris dari suku Khazraj.  Ketika Nabi mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dan Ansar Abu  Bakr dipersaudarakan dengan Kharijah. Abu Bakr kemudian disusul  oleh keluarganya dan anaknya yang tinggal di Mekah. la mengurus  keperluan hidup mereka. Keluarganya mengerjakan pertanian — seperti  juga keluarga Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Talib — di tanah  orang-orang Ansar bersama-sama dengan pemiliknya. Bolehjadi  Kharijah bin Zaid ini salah seorang pemiliknya. Hubungan orang ini  lambat laun makin dekat dengan Abu Bakr. Abu Bakr kawin dengan  putrinya — Habibah — dan dari perkawinan ini kemudian lahir Umm Kulsum, yang ditinggalkan wafat oleh Abu Bakr ketika ia sedang dalam  kandungan  Habibah. Keluarga Abu Bakr tidak tinggal bersamanya di rumah Kharijah bin Zaid di Sunh, tetapi Umm Ruman dan putrinya Aisyah serta keluarga Abu Bakr yang lain tinggal di Medinah, di sebuah rumah  berdekatan dengan rumah Abu Ayyub al-Ansari, tempat Nabi tinggal.  Ia mundarmandir ke tempat mereka, tetapi lebih banyak di tinggal  di  Sunh, tempat istrinya yang baru.